Saya dan Seorang Penari

Dalam sebuah kelas, seorang guru mengajak murid-muridnya berdiskusi, dia bertanya kepada muridnya: Kalian siapa ?, serentak murid-muridnya menjawab sesuai dengan namanya masing-masing. Gurunya kembali bertanya: Bukankah itu hanya sebuah nama "Namaku", kata "ku" setelah namamu itu siapa ?. Murid-muridnya, kembali menjawab, kali ini mereka menjawabnya dengan jawaban yang berbeda-beda. Ada yang menjawab aku adalah seluruh badan, aku adalah jiwa, aku adalah pikiran, aku adalah hari, dan lain-lain. Gurunya kembali bertanya dengan pertanyaan yang semakin membingungkan, "itu semua kan hanyalah kepunyaan (tubuhku, jiwaku, pikiranku, hatiku, dan lain-lain), Akunya itu yang mana ?, yang memiliki semua yang kamu sebutkan tadi. Suasana kelaspun menjadi hening, seluruh muridnya masih kebingungan memikirkan dirinya sendiri.

Sepulang dari tempat belajarnya itu, salah seorang murid mencoba menghibur dan menenangkan pikirannya dengan mengunjungi beberapa tempat seperti pantai, disana dia merasakan ketenangan dari suara-suara ombak di lautan. kemudian mendaki gunung, disana dia menyaksikan keindahan alam, pohon-pohon yang tinggi dengan dedaunan yang hijau. Dan terakhir dia pergi menonton sebuah pementasan tari-tarian. Disana dia melihat seorang perempuan cantik yang menari dengan begitu eloknya. Membuatnya terkagum-terkagum, sontak dia melontarkan pujian-pujian keluar dari mulutnya, membuat pikirannya menembus dimensi-dimensi lain hingga menembus langit ke tujuh, matanya terbuka lebar merobohkan setiap dinding pembatas, menghilangkan setiap senti yang menjadi jarak pemisah antara dirinya dengan perempuan itu. 

Setelah selesai acara pementasan, dia mengajak perempuan cantik itu untuk ngopi di warung kopi terdekat. Perempuan itu mengiyakan ajakannya. Setibanya di warung kopi, mereka berdua memesan secangkir kopi. Duduk berdua di warung kopi dan saling berhadap-hadapan membuatnya semakin takjub atas keindahan ciptaan Tuhan yang ada di depannya. Dia hanya diam dan menatap tajam perempuan yang berada di depannya hingga kopinya dingin tidak tersentuh.

Tiba-tiba pikirannya mengingat kembali setiap pertanyaan gurunya yang membuat pandangannya kepada perempuan itu menjadi buyar. Dia pamit ke toilet untuk mencuci muka, disitu dia melihat dirinya di dalam cermin, sontak bertanya: yang nyata sebenarnya saya atau yang ada di dalam cermin itu ?. Disini tercipta perdebatan yang luar biasa di dalam dirinya. Dirinya yang satu menjawab; yang nyata adalah yang ada didalam cermin itu. Tapi dirinya yang satu lagi menolak, yang nyata adalah kamu dan yang ada di dalam cermin itu hanyalah pantulan bayanganmu yang muncul karena ada cahaya. Begitu pula antara ombak dan lautan yang kamu lihat beberapa hari yang lalu, pohon-pohon yang kamu lihat di pegunungan atau di alam, serta perempuan dan tariannya.

Seluruh meja dan kursi yang ada diluar itu adalah pohon, hanya saja setelah diolah namanyapun berubah menjadi kursi dan meja, tapi pada hakekatnya itu adalah pohon yang kemudian ditebang di hutan, lalu diolah oleh pengrajin menjadi kursi dan meja. Begitu pula kamu dengan Tuhanmu dan seluruh yang ada di alam semesta ini hanyalah bayangan seperti yang kamu lihat di cermin.

Pikirannya pun semakin liar tidak terkendali membuatnya semakin bingung dan meragukan segala yang dia pikirkan dan rasakan. Akhirnya, dia berlari pulang meninggalkan perempuan yang dikaguminya. Di rumah, ia bertemu dengan kakeknya dan menceritakan segala yang dipikirkan dan dirasakannya. Mendengar cerita cucunya, si kakek pun mengambil kopi dan duduk bersila.

“Nak, pengetahuan dan keyakinan yang diraih setelah proses keraguan, akan berdiri tegak sebagai keyakinan yang kuat dan sulit untuk diguncang. Keyakinan jenis ini akan kokoh di atas fondasinya yang kokoh. Sebaliknya, keyakinan ataupun pengetahuan yang kau dapatkan tanpa melalui fase keraguan akan mudah digoyangkan dan diguncang, labil dan gampang dirobohkan.

Guncangan itu bisa dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang menggugat keyakinanmu. Ketika pertanyaan tidak bisa dijawab, maka keyakinan mulai rapuh, tiang-tiangnya mulai goyah. Dan ketika itu berlangsung lama, sementara pertanyaan itu terus-terus menguntit, maka sebuah keyakinan yang semula mantap sekalipun, benar-benar terancam. Jika kamu tidak segera menyelamatkannya, ia akan segera runtuh dalam waktu yang tidak lama.

Jangan takut untuk meragukan segala sesuatu yang kamu tahu, rasakan, dan juga segala yang kamu yakini. Hanya saja kamu jangan sampai berhenti pada keraguan itu. Kamu harus segera menemukan jawaban yang diperlukan untuk mengokohkan keyakinanmu. Sekalipun pertanyaan serupa kelak akan muncul lagi. Ketika kamu berhasil menemukan jawaban-jawaban yang memuaskan, maka bukan saja keyakinanmu selamat dan menguat, tapi lebih dari itu, keyakinanmu akan membuat jiwamu jauh lebih bahagia.”

Diakhir pembicaraannya, si kakek menyodorkan sebuah buku kepada cucunya. Di buku itu bertuliskan Ajaran ini mulai. 

Ia pun menerima buku itu dan berjalan meninggalkan kakeknya. Ia membuka dan membaca buku itu secara acak,”Dalam pemikiran Barat, tindakan meragukan sesuatu biasa disebut dengan skeptis, yang umumnya dinisbahkan kepada Bapak Rasionalisme modern, Rene Descartes. Dalam pemikiran Islam, itu dibahas dalam konsep syak, seperti yang diuraikan oleh imam Al Ghazali, yang lahir jauh sebelum Descartes. Skeptis telah mengantarkan kedua tokoh tersebut dikenang dan pemikiran-pemikirannya membuatnya kekal hingga saat ini”.

Setelah membaca sepenggal kalimat dalam buku itu, dia kini menemui neneknya dan menceritakan seorang penari yang ditemuinya tadi dan juga menunjukkan sebuah buku pemberian kakeknya. 

Salah satu kesulitan terbesar manusia yang juga kekurangannya yang paling jelas adalah manusia sebenarnya sedang menggambarkan dirinya sendiri ketika dia mengira bahwa dia sedang menggambarkan orang lain. Dia sedang menggambarkan perasaan atau keyakinannya sendiri, padahal yang mungkin ingin kita ketahui adalah sesuatu mengenai orang itu atau sesuatu yang tengah digambarkan.

Lalu si nenek melihat bukunya. Jika dia berkata,”Ajaran ini mulia” yang dimaksudnya adalah “Ini cocok untukmu”. Ingatlah bahwa keadaan semacam ini akan terus berlangsung, biasanya akan ada orang yang mengatakan “ini mengagumkan”, sama banyaknya dengan orang yang mengatakan “ini menggelikan”. Apakah kamu ingin mengikuti pendapat salah satu diantara mereka? Atau kamu ingin menguji apa yang benar-benar menggelikan atau mengagumkan? 

Kamu dapat melakukannya, tetapi tidak jika kamu beranggapan bahwa kamu dapat melakukannya tanpa menjalankannya sama sekali, atau tanpa latihan. Dan kamu baru bisa memulai latihan itu ketika kamu telah benar-benar menemukan dirimu sendiri. Sebelum itu, kamu hanya bisa punya pendapat. Pendapat yang didasarkan pada kebiasaan dan apa yang kamu anggap sebagai sesuatu yang menyenangkan bagi dirimu. Pencarian ini menuntut penemuan diri secara terus-menerus.


Bersambung….


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Sebagai Metodologi Berfikir

Black Magic (Kisah Almarhumah mama)