Filsafat Sebagai Metodologi Berfikir

Berbicara tentang filsafat mungkin saya bukan ahlinya, tapi yang saya pahami dalam belajar filsafat itu bagaimana agar kita bisa berpikir jernih. Filsafat sejatinya tidak serumit yang diceritakan oleh orang-orang. Filsafat bukanlah pembelajaran yang mengerikan bagi kita yang serius ingin belajar. Filsafat adalah suatu yang alamiah yang dialami oleh manusia sebagai makhluk yang berakal.

Jika diibaratkan, filsafat itu seperti alat pencernaan yang ada dalam tubuh kita. Sebagaimana pencernaan ini membutuhkan bahan-bahan material, makanan, sayuran, dan sejenisnya untuk diolah dalam alat pencernaan, lalu menjadi darah yang dialirkan ke seluruh tubuh kita, kemudian menjadi daging. Nah, setelah melewati semua proses itu, maka kita akan menjadi makhluk yang sehat. Filsafat juga begitu, yang diawali oleh bahan-bahan material atau bahan-bahan yang akan dipikirkan, baik itu berupa berita COVID-19, informas kematian, temuan penalar virus corona dari suatu eksperimen. Kemudian bahan itulah yang kemudian akan diolah oleh nalar kita, dianalisis, dikembangkan, lalu kita temukan pola-polanya, maka jadilah yang biasa kita sebut sebagai produk filsafat yang akan mengalir ke seluruh kesadaran kita, sehingga kita secara mental menjadi makhluk yang waras dan menjadi makhluk yang penuh dengan kesadaran.

Dengan begitu, filsafat sebenarnya menjadi jalan menuju kesadaran atau kewarasan atau yang dibahasakan oleh Fahruddin Faiz bahwa filsafat itu metodologi berpikir, maka menolak mentah-mentah filsafat berarti menolak mentah-mentah kesadaran dan kewarasan itu sendiri. itulah kenapa semenjak manusia lahir kecenderungan berfilsafat, kecenderungan berpikir itu selalu ada, tapi lambat laun semua itu hilang atau tidak difungsikan lagi. Coba kita lihat anak kecil, banyak bertanya mengenai banyak hal. Tapi sayangnya beberapa orang dewasa lebih memilih untuk marah ketika ia tidak paham mengenai sesuatu. karena doktrin dan pengaruh lingkungan yang membuat seseorang tumbuh dewasa namun tidak benar-benar menjadi dewasa karna terpaksa menjadi dewasa sehingga kehilangan kesadaran dan kewarasan yang seharusnya ada di dalam dirinya.

Kita yang kini hidup ditengah-tengah problematika kehidupan sosial yang semakin rumit, sumber informasi yang terus bergejolak, yang mana berita-berita hoax bisa beredar dengan begitu cepatnya, kebohongan terpajang dimana-mana dan sosmed, maka salah satu langkah yang bisa kita pakai adalah kesadaran berfilsafat untuk menguji semua informasi/berita itu, apakah berita-berita yang datang pada kita itu berita yang benar atau salah. Tapi saat ini, ada sebuah tantangan besar yang dihadapi oleh filsafat yaitu banyaknya tuduhan yang diberikan kepada filsafat, salah satunya bahwa belajar filsafat hanyalah membuat orang berpikir saja, tapi tidak bisa membuat orang bertindak, ini sebuah sudut pandang yang sangat kapitalis. Tapi sayangnya, inilah yang diyakini oleh beberapa kampus kita sehingga nalar kritis beberapa mahasiswa itu tenggelam. Akhirnya, ketika dihadapkan oleh berita-berita atau isu-isu yang bernuansa kebohongan, maka kita seperti tidak punya perangkat untuk menolak semua itu. kita sekedar melihat judul berita tersebut, lalu dibagikan, tanpa mencari tahu kebenaran isinya. Ditambah lagi doktrin-doktrin senior di dalam sebuah organisasi yang memaksa anggotanya untuk menerima secara mentah-mentah apa yang diinstruksikan tanpa mengajak berpikir terlebih dulu untuk menghidupkan nalar kita. Akhirnya, lahirlah kader-kader penurut yang sama sekali tidak tahu arah dan tujuannya sendiri. Kasihan orang tua di desa, ternyata dia kerja keras hanya untuk menyekolahkan seekor kerbau di kota.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saya dan Seorang Penari

Black Magic (Kisah Almarhumah mama)