Padamnya Api Literasi

Coba kita lihat mereka yang sibuk merancang bangunan tinggi menjulang langit. Seakan lupa memugar pikiran dan spiritual yang mulai amburaduk. Padahal isi pikiran adalah awal dari segala peradaban. Peradaan yang maju diasup oleh bacaan bergizi, disuguhkan kultur massa lestarikan tradisi literasi, didukung kebijakan penguasa tumbuhkan budaya baca, meramu peradaban buku dan peradaban umat manusia akhirnya tercipta.

Jumlah konsumsi buku menampilkan kondisi negara yang maju. Karna negara disangga basis massa unggul berdaya, melek huruf, hitung angka, mampu baca, dan berkarya sesuai disiplin ilmunya. Ketika peradaban Islam mapan waktu itu, perpustakaan sebagai penyangga melimpah ruah dengan koleksi buku literatur. Profesi pengajar, penyalin, dan penerjemah begitu diminati karna khalifah waktu itu bayarannya dengan tumpukan dirham, berbagai tunjangan dan persinggahan sebagai upah. Maka ilmu pengetahuan pun berbuah.

Tapi coba kita lihat saat ini, kisah terdahulu hanyalah kenangan yang berulang terbayang. Sekarang kita jauh lebih mudah menemukan pusat belanja, tempat nongkrong dan hiburan daripada rumah baca. Masjid-masjid yang mewah pun hanya sekadar tempat ritual ibadah semata. Tidak pernah ada berjejer rak berbuku untuk menunaikan rasa ingin tahu, maka padamlah api keingin tahuan, menurunlah minat baca, dan tertundalah rancang bangun peradaban ilmu pengetahuan beberapa tahun mendatang. Padahal tidak ada yang berbeda dengan perintah wahyu pertama yaitu "IQRA" Sisi yang berubah hanyalah manusianya dalam memahami dan mematuhi". Katanya Imam Ali : "Manusialah yang membaca, memahami dan menerapkannya." Al quran hanyalah sebuah teks ilahiah yang membutuhkan mediasi antara penyusun dan pembacanya, serta aktivitas membaca manusia memastikan dinamika mediasi itu.

Khaled Abou El Fadl mencoba menyindir kita, peradaban Islam dan peradaban Al quran masih bertahan, memproduksi dirinya setiap malam. Pernahkah ada peradaban yang didasarkan pada teks, sebuah teks tunggal (bacalah) sebelu semuanya utuh. Bukankah kita adalah peradaban bacaan ? Peradaban buku ? Bagaimana mungkin peradaban yang didirikan atas dasar bacaan merupakan aktivitas membaca ? Pada buku-buku begitu acuh, maka runtuhlah peradaban itu karna pondasinya rapuh, karna manusia tidak peduli padanya. Angkuh sekali si manusia

Salah satu faktor rendahnya budaya baca masyarakat kita adalah penduduknya lebih menjunjung tinggi budaya bertutur, bukan budaya membaca dan menulis. Lihat saja banyak dongeng, legenda, cerita rakyat, bahkan mitos berkembang di tengah masyarakat Indonesia. Cerita nenek moyang tersebut diwariskan melalui tradisi oral atau dari mulut ke mulut bukan lewat tulisan. Tidak heran jika banyak versi alur dan akhir cerita rakyat maupun sejarah terjadinya suatu tempat yang mengundang perbedaan pendepat, itu karna para leluhur kita lebih menyukai tradisi bertutur. Mereka belum berpikir jangka panjang keutamaan sebuah tulisan, sebagai medium komunikasi kepada anak turunan yang melampaui ruang dan zaman.

A Teeuw juga menyatakan, sejatinya kita malah mundur lagi menuju tradisi oraliti seperti zaman baheula, dimana pesan suara kembali menjadi elemen penting untuk menyebarkan informasi dan indra pendengaran sebagai penerima informasi. Tradisi literasi dengan aktifitas membaca, menulis, dan meneliti justru semakin tersingkirkan. Ditambah kecanggihan ponsel dengan berbagai aplikasi di dalamnya seperti media sosial dan game telah meninabobokan, merenggut waktu kita, menjauhkan dari buku-buku dan menjadikan kita asosial.

Mungkin itulah kesalahan terbesar yang dilakukan oleh leluhur kita, Apakah kita mau mengulangi kesalahan yang telah dilakukan para terdahulu ? Tanyakan sama dirinya masing-masing..

Seharusnya kita yang mengaku sebagai pemuda (Generasi Penerus) mampu mengatur waktu membaca. Kalo kita melirik para ulama kita, biasanya mereka menggunakan waktu seusai shalat isya sampai subuh untuk membaca dan menulis kitab. Kegigihan mereka begitu luar biasa untuk menggali ilmu dari suatu kitab. Selain menyisihkan waktu untuk membaca, kita juga sebaiknya terlibat dalam suatu komunitas baca atau ilmiah sebagai ruang aktualisasi. Sebagai arena mengadu ilmu, merawat gagasan buku, tempat bertukar pendapat, dan medium penyemangat untuk merampung bacaan yang sempat tersendat. Sesekali kita bisa bergiliran membedah suatu buku agar anggota sama-sama tahu, sebuah buku yang belum sempat dibaca semuanya. Biasanya jika kita diberi tanggungjawab untuk membedah buku, sering mengisi kajian atau diskusi, kita akan lebih membiasakan diri untuk membaca. Dengan demikian tercipta simbosis mutualisme antar keduanya. Dan juga jangan lupa agendakan waktu luang kita, harian, mingguan atau bulanan untuk berkunjung ke perpustakaan, toko buku, atau pameran buku. Mengunjungi surga pengetahuan, membuat kuriositi atau rasa ingin tahu tetap terjaga. Karna kuriositi inilah yang mendorong seseorang berminat untuk membaca. Bagi insan haus wawasan, berbulan-bulan tidak ke perpustakaan sunggu tindakan di luar hakekat manusia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saya dan Seorang Penari

Filsafat Sebagai Metodologi Berfikir

Black Magic (Kisah Almarhumah mama)