Jejak Pustaka Tan Malaka (Madilog)

 Ketika kita bicara tentang Republik Indonesia, ada satu nama yang tidak layak untuk dilupakan. Melalui bukunya pada tahun 1925, dia menyampaikan gagasan terkait sebuah Republik yang berdiri di atas tanah airnya. Mendengar peranan pentingnya terhadap Indonesia, aneh apabila namanya seolah disembunyikan dalam timbunan sejarah. Tan Malaka lahir di tanah minangkabau sebagai bayi laki-laki yang bernama Ibrahim, namun nama Tan Malaka itu dia dapatkan dari prosesi adat Minangkabau, yang akhirnya nama Tan Malaka lebih dikenal dan bergaung dalam benak khalayak yang mengagumi perjuangannya. Bersama Sarekat Islam dia menjadi penggerak gerakan rakyat dalam memperjuangkan keadilan dan melawan penindasan dari kolonialisme Belanda.

Bagi seseorang yang hidup dengan pikiran yang mesti disebarkan, baik dengan pena, mulut, maupun dengan tindakan, tentunya membutuhkan pustaka yang cukup. Sama halnya dengan seorang tukang batu tidak akan membuat sebuah rumah kalo alatnya seperti semen, batu bata, pasir, dll itu tidak ada. Seorang pengarang atau ahli orator, perlu suatu catatan dari buku musuh, kawan ataupun guru. Catatan yang sempurna dan jitu bisa menaklukkan musuh secepat kilat dan bisa merebut kesepakatan dan kepercayaan yang bersimpati sepenuh-penuhnya. Baik dalam polemik, perang pena, baik dalam propaganda, maka catatan itu adalah barang yang tidak bisa ketinggalan, seperti semen, batu bata, pasir untuk membuat sebuah rumah. Selain daripada bahan-bahan ini, buku-buku yang berarti tentu sangat besar faedahnya untuk pengetahuan dalam artian umumnya.

Ketika Tan Malaka menjalankan pembuangan yang pertama, yaitu dari Indonesia, pada 22 maret 1922, dia cukup diiringi oleh buku, walaupun tidak lebih dari satu peti besar. Di dalamnya ada buku agama, Quran dan bible, Budhisme, Confucuisme, Darwinisme, perkara ekonomi yang berdasar Liberal, sosialitis atau komunitis, perkara politik juga dari liberalisme sampai ke komunisme, buku-buku riwayat dunia, beberapa buku ilmu perang dan buku sekolah dari ilmu berhitung sampai ilmu mendidik. Pustaka yang begitu lama jadi teman dan guru terpaksa dia tinggalkan di Nederland karna ketika Tan Malaka pergi ke Moskow dia mesti melalui Polandia yang bermusuhan dengan komunisme. Dari beberapa catatan nama buku di atas tadi, tentunya orang bisa tahu arah pemikirannya kemana. Tentunya ke arah yang dibenci Polandia, hehehe..

Di Moskow Tan Malaka mencocokkan pengetahuannya tentang komunisme. Dalam tempo kurang lebih 8 bulan dia sedikit sekali membaca, tetapi banyak mempelajari pelaksanaan komunisme dalam semua hal dengan memperhatikan segala perbuatan pemerintan komunis Rusia, baik politik maupun ekonomi, pendidikan ataupun kebudayaan dan dengan percakapan serta pergaulan dengan berbagai macam golongan. Disini dia juga banyak menulis perkara Indonesia buat laporan Kominteren. Ketika Tan Malaka meninggalkan Rusia, memang dia tidak membawa buku apapun, dia tetap diperiksa dengan tegas diperbatasan sewaktu meninggalkan Rusia.

Tetapi setelah sampai di Tiongkok dan kemudian di Indonesia, Tan Malaka dengan giat kembali mengumpulkan buku-buku yang berhbungan dengan ekonomi, politik, sejarah, ilmu pengetahuan, sains, buku-buku baru yang berdasar sosialisme dan komunisme.

Mengunjungi toko buku adalah pekerjaan yang tetap dan dengan giat dia jalankan. Nafsu membeli buku baru, lebih-lebih yang berhubungan dengan eknomi Asia, yang membuat kantongnya seperti boneka yang tidak berdaya, tetapi tidak banyak bahagia yang diperoleh. Karna kelumpuhan otak yang sudah lama tidak membaca apa-apa, maka tidak lebih dari satu jam sehari Tan Malaka itu bisa membaca buku yang bertimbun-timbun. Dia terpaksa menunggu kesehatan membenarkan, tetapi rupanya pustaka tidak bisa mengawaninya.

Pada perang Tiongkok di Shanghai penghabisan tahun 1931, tidak beberapa hari lamanya dia terkepung di belakang jalan bernama "NOrt Su Chuan Road", tepat di tempat peperangan pertama meletus. Dari sana Jepang menambah ke arah Pao Shan Road dan tentara Tiongkok dari sebaliknya. Di antaranya dikepung Wang Pao Cho Tan Malaka dan Pustakanya terpaku. Sesudah dua atau tiga hari tentara Jepang memberi izin kepada kampung tempat Tan Malaka tinggal berpindah rumah, pergi ke tempat yang lebih aman dalam tempo lima menit saja. Dia pergi dengan tergesah-gesah yang menyebabkan terpaksa dia tinggalkan lagi pustakanya. Ketika dia mengunjungi rumahnya setelah perang yaitu sebulan lamanya, tapi sehelai kertaspun tidak ada yang tertinggal. Begitu rapinya tukang copet bekerja. Tapi hal ini belum membuat Tan Malaka menyerah.  Seperti yang telah dikatannya, "Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi."

Sampai akhirnya Tan Malaka kembali ditangkap di Hongkong pada 10-10-1932, dia sudah punya satu peti lagi. Setelah dua tahun di dalam penjara, dia dilepaskan untuk dipermainkan seperti kucing mempermainkan tikus. Untungnya di dekat Amoy, Tan Malaka bisa melepaskan diri. Tetapi lagi-lagi dia terpaksa meninggalkan lagi pustakanya. Pustakanya berlayar menuju Foechow. Dia berhasil melepaskan diri dari bahaya, tetapi juga terlepas dari pustakanya. Tan Malaka berhasil masuk ke Amoy dan terus ke daerah dalam Hok Kian tiga-empat tahun lamanya, terputus dengan dunia luar sama sekali, beristirahat, berobat sampai sembuh total.

Pustaka baru yang Tan Malaka kumpulkan di Amoy dari tahun 1936-1937, juga terpendam disana, ketika tentara Jepang masuk pada tahun 1937. Malah dua-tiga buku-buku oeringatan penting sekali yang bahannya diperoleh dengan matanya sendiri yaitu catatan penting, buat buku-buku yang sedang dia mau tulis itu mesti dia lemparkan ke laut dekat Marqui sebelum sampai di Ranggon. 

Keputusan untuk berpisah dengan dua catatan itu diambil dengan sangat berduka cita. Tetapi keputusan itu belakangan ternyata benar. Duane Ranggon memeriksa buku-bukunya yang masih ada dalam peti seperti kamus bhs.inggris dengan teliti sekali, sampai kulitnya diselidiki dengat hati-hati. Kantongnya pun tidak aman. Di antara Merqui dan Ranggoon di pantai laut, di sanalah letaknya beberapa buku peringatan , catatan dan sugesti atau nasihat untuk pekerjaannya sekarang.

Dalam permulaan 3 tahun di Singapura, Tan Malaka hidup sangat miskin. Gaji yang didapatkan sangat sedikit, sekitar enam setengah rupiah sebulan. Dengan tidak ada Diploma-Singapura, tidak lahir di Singapura, memakai paspor Tiongkok, meskipun dia bisa berbahasa Tionghoa, tetapi tidak bisa membaca huruf Tionghoa. Terlebih susah juga untuk mendapatkan izin mengajar bahasa Inggris dari tuan Inspektur. Uang untuk makan secukupnya saja, pakaian jangan disebut lagi. Masuk jadi anggota pustaka tidak mampu, cuma bisa ditambah dengan isi surat kabar dan pengamatan mata dan telinga sendiri. Tetapi lama kelamaan atas usahanya sendiri dia mendapatkan pekerjaan dan hasil pekerjaan yang sudah lumayan baik.

Tan Malaka bisa bekerja di Sekolah Normal Tinggi sebagai guru Inggris dan belakangan juga sebagai guru matematika dalam dan luar sekolah. Dia mulai mengumpulkan catatan untuk buku-buku yang mau dia tuliskan. Raffles Library memberi kesempatan dan minat yang besar untuknya, buku terakhir yang dia pinjam adalah Capital, karya Karl Marx. Tetapi armada Jepang tidak berhenti datang setiap harinya. Sedikit-sedikit dia harus sembunyi, dan hanya dalam lubang persembunyiannya dia bisa membaca Capital untuk mengumpulkan bahan yang sebenarnya dia ulangi baca. Sampai 15 Februari 1942 dia masih pegang buku itu dengan beberapa catatan. Tetapi sesudah Singapura menyerah, semua penduduk laki-perempuan, tua-muda dihalaukan dengan pedang terhunus kiri-kanan, dengan ancaman yang tidak ada putusnya menuju ke satu lapangan. Disini ratusan penduduk Tionghoa ditahan satu hari untuk diperiksa. Sebelum meninggalkan rumahnya menuju ke lapangan pemeriksaan, beruntung dia bisa menyembunyikan buku Kapital ke dalam air.

Setelah dua atau tiga minggu Singapura menyerah, Tan Malaka mencoba menyebrang ke Sumatra dengan menggunakan perahu, tapi gagal karna badai. Dia terpaksa mengambil jalan Penang-Medan. Hampir dua bulan dia jalan antara Singapura dengan Jakarta, melalui Semenanjung Malaka, Penang, Selat Malaka medan, Padang, Lampung, Selat Sunda dan Jakarta. Dalam perjalanannya menuju Jakarta dia membeli buku-buku karangan Indonesia. Di antaranya Sejarah Indonesia yang mesti dia sembunyikan pula baik-baik karna dalamnya ada potret dirinya sendiri. wkwkwk

Itulah potret pustaka sejarah perjuangan Tan Malaka dengan buku-bukunya, ternyata lebih sulit dari apa yang kita bayangkan. Lantas apa yang membuat kita saat ini untuk tidak berkawan dengan buku-buku ?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saya dan Seorang Penari

Filsafat Sebagai Metodologi Berfikir

Black Magic (Kisah Almarhumah mama)